WELCOME TO OUR WEBSITE

Senin, 19 Desember 2011

Obyek Wisata Di Bangka Belitung



SERIBU Pesona Wisata di Bangka-Belitung. Tak heran jika propinsi yang terdiri dari empat kabupaten dengan 254 pulau-pulau kecil ini dipilih sebagai lokasi film Laskar Pelangi. Bangka dan Belitung telah lama dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia, serta memiliki pesona alam yang wajib dikunjungi. 

Keunikan pantainya yang dihiasi batu-batu granit raksasa tanpa gunung berapi, tersebar di mana-mana. Banyak pantai yang dinikmati di sini dengan keunikan dan pesonanya masing-masing.

Berikut beberapa obyek wisata di Bangka-Belitung yang disitat dari buku Informasi Pariwisata Nusantara Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Sektor pariwisata merupakan salah satu Core Businnes Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, negeri nan elok bumi serumpun sebalai ini banyak menyimpan obyek pariwisata yang dapat dikembangkan menjadi sumber perekonomian, terutama eksotika alam bahari dan wisata sejarah atau peninggalan yang cukup memiliki daya tarik, mengingat sejarah panjang Pulau Bangka Belitung tidak terlepas dari perjalanan panjang penggalian timah yang diawali Imigran China.

Visit Bangka Belitung Archipelago 2010



Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara, dengan melakukan promosi pariwisata berupa program/agenda Visit Bangka Belitung Archipelago 2010 atau disingkat Visit Babel Archi 2010  (Visit Babel Arcipelago 2010 "Babelku Bergema")

Potensi pariwisata yang berpeluang untuk dikembangkan investor, sebagai berikut :

Kabupaten Bangka
Wisata Pantai : Parai Tenggiri, Matras, Romondong, Tanjung Pesona.
Wisata Alam Pemandian : Tirta Sapta
Wisata Gunung : Gunung Maras untuk bertualangan
Wisata Budaya : Phak Kak Liang, Komunitas Etnis Hakka.
Wisata Sejarah : Monumen Otto Tooroop, Peninggalan Kota Kapur, Kuburan Tua Depati Bahrin.
Wisata Budaya dab Religi : Vihara Dewi Kuan In



Kabupaten Bangka Barat
Wisata Pantai : Tanjung Kelian, Pasir Kuning, Tanjung Ular, Air Mas, Beach Kedacak dan Penganak.
Wisata Sejarah : Rumah Putih Tanjung Kelian, Rumah Sejarah Tawanan Bung Karno Menumbing, Rumah Ranggam, Kelenteng China Kong Pu Miau, Mesjid Tua Muntok, Batu Balai, Rumah Mayor Cina, Perkampungan Etnis China di Kapur, Kuburan H. Hotamarrasyid Bin H. Usman, Kuil China di Jebus.
Wisata Alam : Permandian Air Panas Dendang dan Pulau Nenas.

Kabupaten Bangka Tengah
Wisata Pantai : Penyak dan Tanjung Berikat
Wisata Alam : Pulau Nangka, Pulau Semujur dan Pulau Ketawai
Wisata Budaya : Pemukiman Nelayan Etnis Bajau di Kurau.

Kabupaten Bangka Selatan
Wisata Pantai : Tanjung Kerasak, Kumbung dan Tanjung Tiris.
Wisata Sejarah : Dutch Bastionf di Bumpedak
Wisata Agro : Kebun Nenas Toboali
Wisata Buatan : Pelabuhan Sadai

Pangkal Pinang
Wisata Pantai : Pasir Padi Tanjung Bunga
Wisata Sejarah : Mesjid Al-Mukkarom dan Museum Timah
Wisata Budaya : Pemakaman Sentosa
Wisata Alam : Hutan Rimba Tuatunu
Wisata Buatan : Kawasan Golf Girimaya dan Kota Bunga Taman Sari.

Kabupaten Belitung Timur
Wisata Pantai : Burung Mandi, Bukit Batu, Serdang, Punai, Nyiur Melambai Guson Cina, Pulau Pandan, Batu Lalang, Batu Buyung Samak, Pangkalan Limau, Tanjung Batu Pulas.
Wisata Sejarah : Vihara Dewi  Kuan In, Kolam PICE, Kuburan Tua Raja Balok dan Tungku Pamanas
Wisata Pegunungan : Gunung Burung Mandi, dan Malang Lepau
Keindahan alam : Pulau Memperak, Air Terjun Marsila, Pulau Anyemasin, Pulau Ayam Besar, Air Panas Buding, Pulau Pekandis, dan Pulau Keran.
Wisata Danau : Danau Nujau dan Danau Green

Sejarah Kepulauan Bangka Belitung


Menyambut HUT RI ke-65, BUKJAM menulis kisah tentang peranan orang Tionghoa Bangka (Thong Ngin) ke dalam pemerintahan daerah pada masa awal kemerdekaan dan masa pembuangan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta di Pulau Bangka.
Pada 10 Desember 1946 lahirlah sebuah keputusan oleh Letnan Gouverneur General Nederlandsch Indie menjadikan Bangka sebagai daerah otonom melalui terbentuknya Dewan Bangka Sementara (Voorlopige Bangka Raad). Dewan Bangka Sementara ini merupakan lembaga pemerintahan yang tertinggi di Bangka, diresmikan 10 Februari 1947 dengan diketuai oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, beraggotakan 25orang, 14 orang Indonesia (13 dipilih, 1 diangkat oleh residen), 9 orang Tionghoa (8 dipilih, 1 diangkat oleh residen, 2 orang Belanda (1 dipilih, 1 diangkat oleh residen). Ini adalah merupakan pemerintahan resmi pertama di Bangka setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Sejak awal pemerintahan di Bangka terbentuk orang-orang Tionghoa Bangka (Thong Ngin Bangka) sudah terlibat didalamnya. Melalui surat keputusan 12 Juli 1947 No.7 (Stbl. 1947 no.123) ”Dewan Bangka Sementara“ menjadi Dewan Bangka yang dilantik 11 November 1947. Hingga akhirnya 22 April 1950 diserahkannya mandat Dewan Bangka ke Gubernur Sumatera Selatan Dr. M. Isa, selanjutnya Bangka berada dibawah seorang residen bernama Raden Sumarjo.
Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Bangka melawan penjajahan Belanda tidaklah sedikit mulai dari perlawanan sipil hingga perlawanan tentara rakyat. Baik perlawanan yang sporadis maupun perlawanan yang terorganisir. Semangat nasionalisme Rakyat Bangka, mengalami puncaknya ketika kedatangan Presiden Sukarno dan Menteri Luar Negeri Agus Salim pada 6 Februari 1949. Ini terlukis dalam tulisan Abdullah “…Minggu pagi tanggal 6 Februari 1949 kelihatan berbondong-bondong arus manusia hilir mudik dan berkelompok-kelompok menanti di pinggir-pinggir jalan besar, mendengar berita kapan dan dimana Bung Karno akan mendarat. Mereka yang punya duit atau yang punya kendaraan pribadi dan atau yang punya animo besar terhadap kedatangan Bung Karno tersebut, berkelompok-kelompok sudah menuju ke lapangan udara Kampung Dul, tempat kemungkinan besar Bung Karno akan mendarat, dengan pertimbangan takkan mungkin dengan kapal laut. Setelah agak lama mereka menunggu, terbetik berita, entah dari mana datang sumbernya mengatakan Bung Karno dan Haji Agus Salim akan tiba dengan pesawat katalina lewat Pangkal Balam…Dari mulai simpang Pangkal Balam sampai di lingkungan dermaga yang dibatasi denan kawat berduri, sudah penuh sesak manusia berdiri dan hilir mudik, mencari kesempatan untuk dapat masuk ke pelabuhan.Di muka pintu masuk polisi kolonial dengan senjatanya berjaga-jaga dengan ketatnya. Sebentar-sebentar mereka bergerak menghalau orang-orang yang terus mau maju…Di tengah kerumunan manusia yang berjejal tersebut terdengar bunyi klakson mobil. Tiga buah sedan setelah bersusah payah membelah arus manusia, akhirnya dapat juga masuk sampai di pinggir dermaga. Dari sedan-sedan tersebut keluar perutusan BFO Anak Agung Gde Agung (NTT), Ateng Karmamiharja, disertai delegasi RI yaitu Dr. Darma Setiawan, Sujono dan Dr. Leimena. Kemudian keluar lagi rombongan Mr. Moh. Roem…Sekitar lebih kurang pukul 10.00 pagi, kedengaran bunyi pesawat udara. Tak lama antaranya sebuah pesawat Katalina tampak mendekat. Semua mata tertuju ke pintu pesawat. Jantung berdetak keras. Apakah betul Bung Karno yang datang itu Presiden RI tercinta? Hanya sesaat, tapi terasa lama sekali. Dengan stelan abu-abu, dan peci hitamnya yang terkenal tak pernah lekang dari kepala. Tak salah lagi, itu dia, Bung Karno. Menyusul kemudian Haji Agus Salim mengenakan stelan putih dengan mantel abu-abu, bertongkat, berkacamata dan peci hitam.Jelas nampak jenggotnya yang lancip dan sudah mulai memutih…saat Bung Karno menjejakan kakinya di dermaga Pangkal Balam, tiba-tiba datang Mat Amin (Alimin) berjongkok menyilakan Bung Karno naik ke pundaknya. Perawakan Mat Amin sebagai supir krant memang cukup kekar ditambah dengan semangatnya yang meluap-luap. Ia seperti santai saja seperti mendapat kepuasan tersendiri. Sampai di gerbang pelabuhan keadaan sudah sudah tidak dapat dikendalikan lagi…Tak ada lagi yang sanggup melontarkan pekik merdeka. Kerongkongan terasa tersumbat. Air mata haru mulai mengalir.
Sebuah sedan Plymouth putih BN 2 kendaraan dinas Masyarif disediakan khusus untuk kedua orang pemimpin, tapi Bung Karno lebih senang duduk diatas kap depannya saja. Tjhia Ka Tjong (Chia Ka Cong) dari Ipphos Fotocorrespondent dengan pembantu-pembantunya sibuk mencari dan menanti snap yang bagus. ..hingga pukul 12.30 kendaraan masih di Pangkal Balam. Sampai di kampung Lembawai. Mesin mobil dimatikan. Mobil berjalan pelan, didorong oleh para pemuda yang tegap-tegap…Akhirnya sekitar pukul 14.00 baru tiba di rumah Masyarif “. Demikian lukisan kisah Abdullah yang terang atas peristiwa pengasingan Bung Karno di Pulau Bangka.
Rakyat Pulau Bangka terus berdatangan Tua Muda, Laki Perempuan, Thong Ngin Fan Ngin semua bersatu menyambut kedatangan Presiden Sukarno. Ada rasa persatuan, kebersamaan, kebanggaan, antusiasme dan euforia kemerdekaan di dalam menyambut pemimpin tertinggi Republik Indonesia kala itu. Kemudian Bung Karno berkumpul dengan Bung Hatta yang sudah tiba lebih dulu untuk diasingkan di mentok, di Wisma Tambang Timah Bangka (TTB) di Gunung Manumbing. Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim dan beberapa pertinggi Indonesia kala itu menjalani tahanan rumah di tempat pembuangan, di Gunung Manumbing, Mentok, Pulau Bangka. Di tempat pembuangan inilah Bung Karno tetap menjalani funginya sebagai Kepala Negera dengan segala keterbatasannya. Ia bertemu pula dengan berbagai pemimpin pergerakan, pemimpin organisasi Tionghoa Bangka, pemuda-pemuda pejuang, dan lain sebagainya. Kesan yang mendalam akan seorang Bung Karno, tergores dalam di hati sanubari Rakyat Bangka kala itu. Masyarif, Mat Amin, Tjhia Ka Tjong (Chia Ka Cong), Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim semua sudah pergi, namun rasa persatuan, kebersamaan, kebanggaan, antusiasme dan euforia kemerdekaan masih ada di tengah-tengah orang-orang Bangka hingga kini.MEERDEKAAA!

Sejarah Singkat Pulau Belitung


Sejarah Kepulauan Bangka Belitung

Wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, terutama Pulau Bangka berganti ganti menjadi daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya, dan Majapahit.
Setelah kapitulasi dengan Belanda, Kepulauan Bangka Belitung menjadi jajahan Inggris sebagai Duke of Island.

20 Mei 1812 kekuasaan Inggris berakhir setelah konvensi London 13 Agustus 1824, terjadi perlalihan kekuasaan daerah jajahan Kepulauan Bangka Belitung antara MH. Court (Inggris) dengan K.Hcyes (Belanda) di Mentok pada 10 Desember 1816.

Kekuasaan Belanda mendapat perlawanan Depati Barin dan putranya Depati Amir yang di kenal sebagai perang Depati Amir (1849-1851).
Kekalahan perang Depati Amir menyebabkan Depati Amir di asingkan ke Desa Air Mata Kupang NTT.

Atas dasar stbl. 565, tanggal 2 Desember 1933 pada tanggal 11 Maret 1933 di bentuk Resindetil Bangka Belitung Onderhoregenheden yang dipimpin seorang residen Bangka Belitung dengan 6 Onderafdehify yang di pimpin oleh Ast. Residen. Di Pulau Bangka terdapat 5 Onderafdehify yang akhirnya menjadi 5 Karesidenan sedang di Pulau Belitung terdapat 1 Karesidenan.

Di zaman Jepang Karesidenan Bangka Belitung di perintah oleh pemerintahan Militer Jepang yang disebut Bangka Beliton Ginseibu.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, oleh Belanda di bentuk Dewan Bangka Sementara pada 10 Desember 1946 (stbl.1946 No.38) yang selanjutnya resmi menjadi Dewan Bangka yang diketuai oleh Musarif Datuk Bandaharo Leo yang dilantik Belanda pada 11 November 1947.

Dewan Bangka merupakan Lembaga Pemerintahan Otonomi Tinggi.
Pada 23 Januari 1948 (stb1.1948 No.123), Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung dalam Federasi Bangka Belitung dan Riau (FABERI) yang merupakan suatu bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 141 Tahun 1950 kembali bersatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga berlaku undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.

Pada tanggal 22 April 1950 oleh Pemerintah diserahkan wilayah Bangka Belitung kepada Gubernur Sumatera Selatan Dr. Mohd. lsa yang disaksikan oleh Perdana Menteri Dr. Hakim dan Dewan Bangka Belitung dibubarkan. Sebagai Residen Bangka Belitung ditunjuk R.Soemardja yang berkedudukan di Pangkalpinang.
Berdasarkan UUDS 1950 dan UU Nomor 22 Tahun 1948 dan UU Darurat Nomor 4 tanggal 16 November 1956 Karesidenan Bangka Belitung berada di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Bangka dan dibentuk juga kota kecil Pangkalpinang.

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1957 Pangkalpinang menjadi Kota Praja. Pada tanggal 13 Mei 1971 Presiden Soeharto meresmikan Sungai Liat sebagai ibukota Kabupaten Bangka.
Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2000 wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung menjadi Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selanjutnya sejak tanggal 27 Januari 2003 Propinsi Kepualauan Bangka Belitung mengalami pemekaran wilayah dengan menambah 4 Kabupaten baru yaitu Kabupaten Bangka Barat, Bangka Tengah, Belitung Timur dan Bangka Selatan.

Sejarah Singat Pulau Bangka


Awal Mula Pulau Bangka
Pulau Bangka adalah pulau besar yang dikeliling oleh banyak pulau-pulau kecil, menyimpan banyak cerita sejarah dan peradaban yang besar sejak zaman dahulu. Letaknya yang strategis dengan kekayaan alam yang melimpah sejak pertama kali mampu direkam oleh catatan sejarah membuktikan bahwa Pulau Bangka adalah pulau yang bernilai historisitas tinggi.
Sebagai bagian dari sejarah besar, runtutan peristiwa yang pernah terjadi yang berkaitan dengan daerah ini juga menjadi perdebatan. Tidak saja perdebatan berkaitan dengan sejarah mula secara geografis, tetapi juga interaksi masyarakat didalamnya yang masih terus diperdebatkan oleh para peneliti dan tetua masyarakat didalamnya. Perdebatan tentang asal-usul kata Bangka sendiri adalah perdebatan yang belum final hingga sekarang.
Banyak versi yang mencoba memberikan interpretasi atas kata bangka, namun bukti fisik tentang asal-usul kata ini sendiri belum ditemukan kecuali usaha banyak ahli untuk menghubungkan analisis mereka dengan berbagai peristiwa. Versi sejarah yang tampaknya paling kuat adalah versi sejarah Kota Kapur. Ditemukannya bukti sejarah otentik berupa prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 masehi memulai perdebatan tersebut secara ilimiah. Prasasti yang ditemuka di Sungai Menduk (Kabupaten Bangka Barat Sekarang) tersebut berisikan 240 kata bahasa Sanskerta. Prasasti tersebut berisi tentang peringatan kepada masyarakat di wilayah Kerajaan Sriwijaya tentang larangan untuk melakukan pemberontakan. Peringatan tersebut jelas dibuat oleh penguasa kerajaan Sriwijaya pada masa itu sehingga dipekirakan bahwa Pulau Bangka pada masa Kerajaan Sriwijaya telah menjadi pusat aktivitas yang ramai. Dalam prasasti Kota Kapur, sama sekali tidak disebutkan kata Bangka. Namun para ahli sejarah banyak menghubungkan Bahasa Sanskerta yang digunakan pada prasasti Kota Kapur dengan kata vanca yang kemudian mengalami perubahan kata menjadi Bangka tampaknya bisa diterima dengan nalar.
Versi lain menyebutkan bahwa kata Bangka berasal dari kata Bangkai yang menunjukan bahwa kata bangka adala tempat pmbuangan bangkai pada masa penjajahan. Meski demikian, asal-usul kata ini tidak memiliki bukti ilmiah sehingga anlisis versi Kota Kapur di atas lebih bisa diterima oleh masyarakat kebanyakan. Sebuah majalah pada tahun 1846 yang bernama Tijdschrift voor Nederlandsch Indie memuat tulisan bahwa daerah yang disebut Banca adala pulau yang dulunya bernama Chinapata atau China-Batto (Chinapata diduga adala daerah yang dulu pernah dilaporkan oleh seorang pelaut bernama Jans Huyghens van Linschoteen pada tahun 1595 di Amsterdam). Dulu daerah yang disebut Banca mencakup Palembang dan meluas ke arah barat yang kemudian disebut Bangka-Hulu dan kemudian mengalami perubaha dialek menjadi Bengkulu sekarang ini. Ke arah Sumatera Timur, terdapat daerah yang bernama Bangka yang keyakinan banyak orangbtentang kemungkinan ini tidak nampak terlau besar sehingga belakangan banyak orang yang bahkan tidak pernah mendengar cerita ini.
Pulau Bangka dan Sejarah
Belanda pertama kali mendarat di Nusantara tepatnya di Banten Pulau Jawa pada tahun 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Cukup lama setelah itu belanda baru melirik Pulau Bangka sebaga salah satu daerah potensial penghasil timah. Ketika Belanda ingin masuk ke Pulau Bangka daerah ini masuk pada kekuasaan Kesultanan Palembang. Hubungan pertama antara VOC dan daerah Bangka Belitung terjadi pertama kalinya pada tahun 1668. Pulau Bangka pada masa itu berada dibawah kekuasaan Sultan Abdurrachman.
Sebuah catatan kontrak antara Belanda dan Sultan Palembang pada tanggal 10 juli 1668 sebagaimana disebutkan dalam buku Kepulauan Bangka Belitung dengan editor Achmad Sahabudin, dan kawan-kawan (2003) menyebutkan bahwa Kesultanan Palembang mengakui Belanda dengan usaha monopoli timahnya dan Belanda akan mlindungi Kesultanan Palembang. Berikutnya pada tahun 1722, Kesultanan Palembang yang berada dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Kamarudin mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan bahwa VOC memegang hak monopoli perdagangan atas timah. Tahun-tahun setelahnya menunjukan hubungan dagang Belanda dan Kesultanan Palembang berlangsung sangat buruk, sebagai mana Ratu Mahmud Kamarudin gagal memerintah internalnya.
Awal Penambangan Timah
Penemuan timah petama kali di pulau Bangka memiliki beberapa versi. Setidaknya catatanya yang ditulis oleh Heidhues menyebutkan tiga versi penemuan, yakni pada tahun 1707, 1709, dan tahun 1711. timah pada masa awal penemuan tersebut merupakan komoditas yang sangat mudah dilihat karena timah terdapat dimana-mana. Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang-ladang ubtuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya timah pada masa awal abad ke-17 merupakan sebuah komoditas yang midah didapatkan. Hal ini menandakan betapa banyak kandungan timah yang ada di Pulau ini. Apalagi masa penambangan timah yang berlangsung selama 4 abad lebih dan hingga kini masa banyak penambangan timah yang dilakukan di berbagai tempat oleh penduduk dan beberapa perusahaan besar. Orang yang dianggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang. Abdulhayat dalam keluarga tersebut dan laki-lakinya yang bernama Wan Akub merupaka nama-nama yang banyak disebut dan dianggap merupaka orang-orang yang mempelopori penemuan timah di Mentok dan Pulau Bangka pada umumnya. Heidhues menyebutkan bahwa pada masuknya Orang-Orang johor tersebut, juga datang seorang Cina bernama Oen Asing (Boen Asiong) yang melakukan penambangan timah di kampung Belo Mentok. Orang ini pula yang melakukan berbagai macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah. Didatangkan pada masa itu pekerja dari Cina, memperkenalkan penambangan timah dengan menggunakan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien, dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah.
Pada masa ini pula penambangan timah di Bangka mengenal istilah kuli dan kongsi. Kuli dalam ejaan lama koeli berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa. Sedangkan kongsi berasal dari bahasa Hakka, yaitu kwung-sze yang artinya penanganan atas dasar usaha usaha dan kepentingan bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Mulai dipekenalkan pula istilah tauke atau towkay yang artinya bos dan sinkeh yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejarah penambangan timah pada abad ke-17 dan setelahnya adalah sejarah penambangan timah yang dilakukan oleh orang-orang Cina. Impor pekerja Cina dalam jumlah besar-besaran menyebabkan penduduk Bangka hingga sekarang juga banyak diwarnai kehidupan orang-orang Cina yang mula-mula datang untuk bekerja sebagai penambang pada akhirnya ikut memberikan andil dalam proses perkembangan kultural masyarakat lokal.
Tidak mengherankan jika saat ini penduduk Cina di Pulau Bangka mencapai 30 persen dari total jumlah penduduk propinsi ini. Sebagai salah satu bukti bahwa masyarakat etnis Cina sudah ada sejak dulu, masyarakat etnis Cina dapat dijumpai di berbagai pelosok di daerah Pulau ini. Sebutlah misalnya Mentok, Pangkalpinang, Toboali, Sungailiat, Belinyu, Koba, Sungiselan Jebus dan kampung-kampung kawasa penambang timah berpenduduk ramai.
Penduduk Asli Pulau Bangka
Definisi tenteng penduduk asli Pulau Bangka hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa penduduk asli Pulau ini adalah Suku Melayu, padahal pembahasan sebelumnya nyebutkan bahwa Suku Melayu adalah eksodus secara perlahan-lahan penduduk yang datang dari kerajaan johor dan Kerajaan Lingga-Riau.
Sejarah dipulau ini juga diwarnai dengan kedatangan orang-orang bugis yang menjadi lanun dan menguasai dan menguasai pulau-pulau kecil dan daerah pesisir Bangka. Cina juga adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan perjalanan perkembangan demografis pulau ini. Sebuah buku yang ditebitkan pada tahun 1954 (anonim) berjudul Republik Indonesia Propinsi Sumatera Selatan menuliskan bahwa penduduk asli Pulau Bangka adalah mereka yang merupakan hasil pertalian perkawinan antara pelaut-pelaut yang datang dari Jawa, Palembang, Minangkabau, dan Bugis yang menjelma menjadi penduduk asli yang baru. Jadi tampaknya Pulau Bangka dan Belitung pada mulanya tidak berpenghuni, melainkan didatangi oleh penduduk dari daerah lain dan kemudian membentuk kultur khas daerah ini.
Pada sekitar pertengahan abad ke-17, pasukan dari Kerajaan johor dan Kerajaan Minang datang untuk membantu penguasa setempat menumpas para lanun-lanun yang mengganggu aktivitas masyarakat. Kedua Kerajaan ini mendarat di Toboali dimana kemudian Kerajaan Minang menetap dan mempengaruhi budaya dan bahasa peduduk setempat, sedangkan Pasukan dari Kerajaan johor menuju Mentok dan kemudian menetap serta memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan budaya dan bahasa penduduk Mentok dan sekitarnya.
Pengaruh Kerajaan Minang di Toboali sangat terasa hingga sekarang, misalnya dari sudut bahasa yang cenderung mengganti huruf S dengan H. Hal ini dapat di indetifisikasi pada penggunaan bahasa yang digunakan di Minang. Pengaruh lain misalnya pada tradisi makanan seperti lemang di Toboali yang merupakan makanan khas Minang. Sedangkan pengaruh Melayu Johor yang sangat kuat ditampakkan pada ciri khas ke-Melayu-an yang sangat kental di Mentok, misalnya pada bahasa yang cenderung menggunakan E pepet, tradisi masyarakat Mentok juga mengidentifikasikan diri dengan tradisi Melayu Malaysia. Sementara itu, Heidhues menyebutkan bahwa seorang pejabat Belanda bernama J. Van den Bogaart datang ke Pulau Bangka pada tahun 1803 membagi penduduk Bangka pada waktu itu dalam 4 kasta, yaitu :
1. Cina,
2. Melayu,
3. Orang Bukit (disebut juga Orang Gunung/Orang Darat),
4. Orang Laut (Orang sekak.